Diskusi dengan substansi tak bernyawa

Aku pikir Sang Waktu adalah substansi tak bernyawa. 
Matikah engkau, Waktu?
===========================================

“Maafkan bila aku melupakan kehadiranmu, padahal kau selalu mengalir meliputi seluruh jagad raya, meliputi setiap raga dan hembusan napas yang mungkin tak sekalipun mengacuhkanmu. Atau mungkin kami sama sekali tak mengetahui bahwa kau ada?”
Untaian kalimat itu tak berlanjut. Kata benakku, Sang Waktu tak perlu mendengarkan suara dari mulutku, dan aku cukup bersenandung dalam sanubariku untuk bisa menyampaikan apa yang belum sempat kuucapkan kepadanya.
“Apakah menjadi salahku, bila sekarang kau hanya termenung dalam keramaian dunia ini?” Sang Waktu-lah yang lebih dulu menyapaku. Wajahnya tak menunjukkan suatu emosi. “Kau tampak kesepian, padahal begitu gaduhnya suara-suara orang yang berusaha mengejarku.”
Dia tak mau berhenti barang sejenak saat mengatakan itu padaku. Dia tak ingin. Maka aku mulai berjalan bersamanya. Berjalan di dalamnya.
“Semua bilang kau yang akan menjawab segala pertanyaan,” timpalku penuh harap. “Cinta, perasaan, kesembuhan…”
Sang Waktu tertawa. Frekuensi langkahnya tetap teratur. “Aku hanya menyertai proses,” katanya dengan maksud yang masih kurang kupahami.
“Aku hanya ingin merunut apa yang menjadi sebab perenunganku ini. Aku hanya ingin terbang kembali ke ragamu yang telah lalu, melihat apa yang telah kulalui,” aku menelengkan kepalaku, “dan apakah Sang Waktu sendiri mengalami suatu waktu atas dirinya sehingga Sang Waktu mengalami masa yang telah lalu?”
“Kau ingin melakukan regresi? Padahal aku tak pernah berhenti berjalan. Kau berjalan bersamaku untuk menguraikan semua keingintahuanmu namun pikiranmu mengembara ke masa lalu,” dia kembali tertawa.
“Apakah kau menuntunku melakukan hal bodoh itu dulu?” tanyaku tanpa menggubris gelak tawanya.
“Hal bodoh yang mana?” tanya Sang Waktu tanpa emosi membayangi wajahnya.
“Jatuh cinta,” gumamku, tanpa yakin wajahku merah atau tidak, kemudian kubuang mukaku.
“Aku hanya menyertai proses itu,” ulangnya gemas, setengah jengkel, setengah geli. “Hanya nuranimulah yang beranggapan bahwa hal itu bodoh.”
“Mengapa aku mesti memulainya, kemudian mengakhirinya?” aku bertanya lebih lanjut meskipun aku tahu itu adalah pertanyaan yang retoris. “Seiring perjalananmu, mengapa perasaanku bisa terhapus?”
“Hei, manusia, jangan selalu menyalahkanku,” Sang Waktu mendengus keras. “Kau sendiri telah mengatakannya, perasaanmu berubah dalam iringku. Aku hanya mengiringi perjalanan setiap manusia. Aku tidak pernah menjangkaukan tanganku dalam urusan kalian. Perubahan perasaan itu kan kata nuranimu sendiri?”
Aku kini yang terdiam, begitupun langkahku. Sementara itu Sang Waktu terus berjalan sehingga aku harus cepat menyusulnya lagi.
“Kalau begitu, kaulah yang menyembuhkan luka atas kesedihan dan perpisahan.”
Sang Waktu tidak berpaling meskipun aku bertanya dengan terengah-engah karena berlari-lari mengejarnya. Dia tak mengeluarkan selembar suara pun. Sosoknya tak berhasil kuraih.
“Tidak, aku tidak memiliki kuasa apa pun atas segala sesuatu,” nada suaranya merendah. “Aku hanya terus mengejar sesuatu yang tak pasti. Sesuatu yang tak kuketahui. Aku hanya terus berjalan. Rasa lelah pun aku tak punya.”
“Tapi segala rasa negatif memudar bersamamu!” teriakku, tetap merasa lebih benar. “Kau memiliki daya tarik atas segala keburukan yang ada di dunia! Kau dapat membuang keburukan itu di suatu tempat yang aku tak ketahui namanya, mungkin kauberikan pada Rasa Lupa atau pada Kerelaan!”
“Ya, namun seiring aku berjalan, ada pula yang membusuk. Buah bisa menjadi ranum bersamaku, namun tak selamanya. Bila selamanya dia bersamaku, tanpa suatu reaksi dari manusia, dia akan membusuk. Mungkin seperti itulah perasaanmu, ranum bersamaku, namun membusuk karena terlalu lama kau tak menjamahnya dengan pengertian,” Sang Waktu membisu sebentar dan melanjutkan sebelum aku sempat berargumen lebih lanjut, “Semua hal berlaku padaku, dua sisi. Sisi baik dan buruk, kecuali satu hal…”
“Tunggu aku!” panggilku kelelahan.
“Kecuali satu hal itu,” Sang Waktu nampak tidak mempunyai rasa iba. “Aku terus berjalan, namun aku tidak bisa kembali.”
“Tapi kenapa? Aku ingin berbicara dengan tenang denganmu.”
“Aku tidak diciptakan untuk kembali. Bila aku kembali ke tempatku berawal, dunia akan hancur. Sejarah akan berubah. Dimensi akan terputarbalik. Dan manusia akan menjadi gila.”
“Kami telah menciptakan banyak alat untuk bisa menyelami dirimu yang telah berlalu!” teriakku dengan sedikit percikan rasa congkak. “Kami akan bisa mengejarmu ke masa yang akan datang!”
“Pernahkah sekian dari alat-alat itu berhasil menembusku?” Sang Waktu mengeluarkan suara mencemooh. “Apakah kehebatan kalian itu bukan hanya omong kosong untuk saling membodohi dan memperdaya? Dan hal itu kalian lakukan hanya untuk menggali kesia-siaan seperti perasaan yang terbuang percuma kemudian kalian sesali? Dan kalian menyalahkanku?”
Aku memilih mengunci suaraku, hanya terus mengejar langkahnya yang teratur. Aku tahu, meskipun aku benci mengakuinya, bahwa manusia tidak pernah mengalahkan sosok yang terus melangkah itu.
“Bila kau ingin merangkumku dalam kehebatanmu, Manusia, kau harus mempercayai bahwa aku tidak pernah berpaling. Aku memang kejam, aku menyaksikan berbagai peristiwa kelam terjadi, namun hanya bisa membiarkannya. Kaupikir mengapa kalian terlahir?”
Aku tidak tahu, erangku dalam hati.
“Karena hanya tangan kalianlah yang mampu mengubah semua peristiwa itu… aku hanyalah saksi bisu yang tak berdaya. Aku menyerahkan bagian-bagian diriku untuk kalian bisa bernapas. Untuk bisa lahir, melakukan sesuatu, kemudian mati. Aku melihat semuanya. Aku menemani proses berjalan bersama kalian, namun tak ada yang berbekas padaku. Tak mungkin tanganku meraih abstrak-abstrak bernama perasaan itu, bahkan aku sendiri tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Aku terus berjalan mencari sesuatu yang tak pasti. Aku bahkan tak tahu kapan aku harus berhenti.”
“Kalau kau berhenti, maka kehancuran dunialah yang kaubawa! Kau tak bisa lagi menyaksikan banyak hal. Kau tak bisa lagi mencemoohku!”
“Manusia,” Sang Waktu menghela napasnya. “Sama sepertimu, aku pun berasal dari kehendak Tuhan. Bila Dia menghendaki aku berhenti, aku akan berhenti. Tapi apakah kau tahu apa yang selalu kubawa bersamaku bagi kalian? Sesuatu yang dapat kalian andalkan bila kalian tak tahu lagi apa yang harus terjadi?”
“Apa itu?”
“KENISCAYAAN.”
Sang Waktu melanjutkan langkahnya, menyorongkan Sang Keniscayaan kepadaku yang masih terdiam, dan menyongsong Sang Keabadian yang setia menunggunya.

2 comments:

Anonim mengatakan...

Cielah puitis kaya Deddy kokbuyer :P
*kabur*

Yuuki Raven mengatakan...

apa hubungannya sama dedy kokbuyer? ==

Posting Komentar