Sendang-sendang di Kecamatan Minggir

Kelas menulis kreatif sudah selesai. Tugas terakhir kami yang harus dipost di blog adalah tugas ujian akhir kami, yaitu tentang sejarah atau mitos di sekitar tempat tinggal kami. Inilah mitos di tempat tinggalku, sendang-sendang di kecamatan Minggir.

Saya tinggal di dusun Sidorejo, desa Sendangrejo, kecamatan Minggir, kabupaten Sleman. Sebenarnya tidak ada mitos tertentu seperti Nyi Roro Kidul di dusun tempat tinggal saya, namun ada sebuah mitos yang dipercaya oleh kebanyakan warga kecamatan Minggir, yaitu adanya sendang di seluruh Minggir. Kecamatan Minggir terdiri atas 5 desa bernama Sendangrejo, Sendangsari, Sendangmulyo, Sendangarum, dan Sendangagung. Nama itu tentunya diberikan karena sebuah alasan yaitu adanya sendang di desa-desa tersebut. Sendang adalah sebutan untuk mata air tempat warga di sekitarnya melakukan kegiatan mandi, mencuci, dan mengambil air untuk minum dan memasak. Sendang sudah ada sejak lama, mungkin sejak zaman kolonial ketika warga sekitar belum mempunyai sumber air sendiri.
Di dusun Jamur, dusun di sebelah Sidorejo, terdapat sebuah bekas restoran gubuk bernama Sendang K-pitoe (sendang ketujuh). Bekas restoran itu diberi nama demikian karena desa Sendangrejo terkenal akan ketujuh sendangnya yaitu Sendang Penjalin, Sendang Siandong Ngaran, Sendang Jamur, Sendang Tarungan, Sendang Jarakan, Sendang Dilahan Gunung So, dan Sendang Butuhan. Bekas restoran Sendang K-pitoe berada di sebelah Sendang Jamur. Sendang itu menurut saya tidak terlalu menyenangkan untuk dikunjungi karena gelap dan berada di bawah sebatang pohon beringin. Warga dusun Jamur dikenal masih mempercayai mitos tentang pohon beringin yang dianggap keramat. Sendang di bawah pohon beringin itu diberi atap sehingga bagian dalamnya tidak bisa dijangkau sinar matahari. Ditambah pohon beringin di sebelahnya, jadilah sendang itu terkesan semakin seram. Mungkin masih ada yang mandi dan mencuci di sana, tapi lebih mungkin lagi ada yang melakukan pesugihan di sendang itu. Desas desus tentang adanya penunggu di sendang itu sudah menjadi rahasia umum. Pernah juga diadakan jathilan di sendang itu bertahun-tahun yang lalu. Saya bukan orang yang suka melihat jathilan jadi saya tidak menonton waktu itu.
Dekat dari Sendang Jamur, ada Sendang Tarungan. Sendang itu masih dipakai warga sekitar dan pernah saya kunjungi. Letaknya berada di dekat pemukiman warga dan padhang dalam artian tidak angker seperti Sendang Jamur. Sebenarnya memang karena sendang itu hanya berbentuk bilik yang bagian atasnya terbuka, tidak diberi atap sehingga cahaya matahari bisa menerangi orang yang sedang mandi dan mencuci di sana. Ya, saya tidak akan mengunjungi sendang yang kesannya angker, tentu saja. Saya kan orang yang penakut.
Sendang yang paling terkenal, paling terawat, dan dianggap paling mistis adalah Sendang Penjalin. Sendang itu merupakan pusat dari ketujuh sendang yang ada di desa kami. Di dekat Sendang itu ada Gunung Tugel yang menurut legenda adalah bukit yang ujungnya patah karena saat Sunan Kalijaga melompati bukit tersebut, puncaknya tersangkut ujung jubah sang Sunan sehingga patah. Gunung Tugel memang berarti Gunung Patah dalam bahasa Jawa. Sendang selain Sendang Penjalin, Sendang Jamur, dan Sendang Tarungan sudah tidak terawat. Ini yang saya dengar dari cerita bapak saya, karena saya hanya pernah melihat Sendang Jamur dan Sendang Tarungan. Keempat sendang yang kini tidak terawat itu airnya sudah banyak berkurang, padahal pada umumnya air sendang tidak pernah habis.
Hal yang menarik bagi saya adalah bahwa konon ketujuh sendang di Sendangrejo saling terhubung melalui saluran air di bawah tanah yang tercipta secara alami. Seorang paranormal pernah mencoba membuktikan adanya saluran air bawah tanah itu dengan menceburkan seekor bebek dari Sendang Penjalin. Masih katanya lagi, bebek itu lalu muncul di Sendang Jarakan, lalu diceburkan lagi dan muncul di sendang lain lagi. Anehnya bebek itu tetap hidup setelah melalui perjalanan panjang di bawah tanah, di dalam air pula. Saya kasihan kepada bebek malang itu. Ah, lagi-lagi ini hanya cerita dari bapak saya.
Kepercayaan tentang sendang-sendang ini lalu melahirkan sebuah tradisi. Awalnya warga yang berkunjung ke sendang percaya bahwa air sendang tersebut membawa keselamatan bagi orang yang bersuci di sana. Kepercayaan tersebut lalu dilaksanakan oleh banyak orang dan terus dilanjutkan sehingga ditentukan waktu tertentu untuk melakukannya. Sekarang pada pertengahan bulan puasa warga, laki-laki dan perempuan datang ke Sendang Penjalin dengan pakaian adat Jawa (surjan untuk laki-laki dan kebaya untuk perempuan) membawa kain jarik. Kain tersebut digunakan untuk mandi basahan dengan air sendang dan setelah selesai air basahan tersebut dibawa pulang. Tidak hanya air basahan, orang yang paling dituakan di antara warga itu juga mengambil air sendang dengan kendi. Air dalam kendi itu lalu bersama-sama dibawa ke dusun Kliran, desa Sendangagung.
Rupanya tidak hanya warga di sekitar Sendang Penjalin saja yang datang ke Kliran. Warga dari semua desa yang namanya diawali Sendang- juga berkumpul di desa Sendangagung untuk bersama-sama menuju dusun Kliran. Para warga itu berpakaian adat Jawa dan membawa hasil bumi berupa tumpeng serta sesajen. Sebenarnya ada apa di dusun Kliran itu sehingga menjadi tujuan arak-arakan warga? Ya, di sana ada pesanggrahan Kyai Tunggul Wulung. Pesanggrahan tersebut sering digunakan warga untuk tirakatan, memohon wahyu dan juga keselamatan. Tombak Kyai Tunggul Wulung sendiri dibuatkan agenda untuk diarak setiap tahun. Acara penghormatan untuk Kyai Tunggul Wulung ini sekarang dilestarikan sebagai kebudayaan khas Kecamatan Minggir dan setiap pelaksanaannya selalu ada pertunjukan wayang. Entahlah apakah acara itu masih dipercayai untuk membawa keselamatan atau hanya sekadar untuk melestarikan tradisi.