hontou no koto wa uta no naka ni aru
itsumo nara terekusakute ienai koto mo
Selalu lagu itu. Selalu
lagu itu yang berhasil mengaduk-aduk perasaanku. Atau mungkin seseorang di
balik lagu itu yang mengaduk-aduknya. Entahlah.
Kembali, hari itu, aku
melewati jalan-jalan itu. Jalan-jalan kenangan itu. Mungkin tak semua dari
jalan-jalan itu pernah kulalui bersamamu. Mungkin pula kau bahkan tak mengenal
jalan-jalan itu. Mungkin hanya diriku sendirilah yang menciptakan kenangan
ketika merambahkan kakiku di sana…
Kembali, hari itu, kuingin
mendengarkan lagu-lagu yang merangkumku bersama kenangan itu. Namun sekarang kau
bukanlah seseorang yang sama. Ikatan kita tidak lagi sama. Berbagai tembok
penghalang menghampar di antara kita. Dan aku pun ingin melepaskan diri dari
jerat nostalgia yang tak henti-henti ini… Namun kuakui, aku tak cukup kuat
untuk melakukannya.
Kau tahu mengapa? Kenangan
itu telah begitu bersatu dengan jalan-jalan nostalgis itu sehingga walaupun aku
tak mendengarkan lagu itu saat lewat di sana, ingatanku tetap melayang kepadamu…
Kimi no koe wo kikasete yo
Kimi no yume wo sodatetai
Koko de, koko de tomo ni ikitai yo
Ya, lagu itu juga… Suara
sang biduan dan alunan melankolis dari instrumen sang violinis selalu
mengantarkanku padamu. Mungkin kau sendiri tak pernah menyangka bahwa begitu
banyak tempat yang suasananya terlampau pas dengan kondisi hatiku. Terlampau pas
dengan lagu-lagu itu. Dan lagu-lagu itu terlampau menjebakku dalam nostalgi
tentangmu. Semuanya begitu bersatu.
Sebisa mungkin aku
melewati jalan-jalan penuh kenangan itu sesering mungkin. Saat bersepeda di hari
Minggu pagi, saat berjalan-jalan santai di sore hari, aku selalu mendengarkan
lagu-lagu itu, hanya untuk menerbitkan air di pelupuk mataku.
Jangan menangis.
Kumohon jangan menangis, saat ini di
depanku,
Maupun di belakangku ketika kau telah
pulang nanti,
Aku mohon dengan sangat… jangan
menangis.
Tempat ini… adalah bagian
dari kenangan tentangmu juga, sayang.
Ah, sayang… Kautahu
mengapa lagu-lagu itu yang menguasai kenanganku, bahkan menguasai tempat-tempat
yang aku lalui. Kau sendiri tahu. Kaulah yang menyerahkannya padaku untuk
menjadi kenangan. Kau selalu tersenyum pada hatiku. Setelah kekecewaan yang
kutamparkan kepadamu, kau tetap tersenyum. Senyum itu merapatkan jarak antara
kenangan itu denganku. Kenangan yang ada dalam benakmu mungkin telah terhapus,
namun tidak padaku.
Bolehkah aku
menyenandungkan kenangan itu setiap aku teringat pada senyummu?
Bolehkah aku mengabaikan
keberatanmu untuk sekadar menunjukkan senyum itu lagi?
Bolehkah aku menjadikan
segalanya kenangan tentangmu, untuk menggantikanmu yang telah tiada dalam
cakrawala hatiku? Baik jalan, pepohonan, dan siratan cahaya mentari yang selalu
mengirimkan lembaran-lembaran bisikan tentang indahnya kenangan kita?
Setiap manusia berubah, namun kenangan
tak akan pernah.
Itulah sebabnya aku selalu menggenggam
kenangan itu.
Tak apa, kau tak perlu
mencemaskanku. Biar lagu-lagu itu dan suasana-suasana itu saja yang
menghangatkan hatiku atas selalu hadirnya kenangan tentangmu… mereka tak akan
pernah mati…