Review (baca: curhatan) tentang Tetralogi Buru


Jujur saja, ketika pertama kali membaca bagian kedua tetralogi Buru saya dibuat agak terkejut dengan gaya penceritaan dan istilah-istilah lama. Dan lembar demi lembar, jujur saja saya kurang menyukai tokoh utama, Minke, pada sifatnya yang hanya menyukai perempuan cantik. Yah, semua bisa bilang “itu tandanya laki-laki normal”, tapi karena saya bukan orang yang cantik, maka saya tidak setuju.
Cukup curhatnya.
Tetralogi Buru. Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Hmmm. Jauh lebih hebat daripada Tetralogi Laskar Pelangi pastinya karena seperti mbak Astrid bilang, keempat buku ini telah melewati perjalanan yang sangat berat untuk bisa berada di tangan saya sekarang. Saya membaca mulai buku kedua hingga keempat, baru yang pertama. Bumi Manusia saya cari dengan sangat bersusah payah karena di seluruh pelosok Jogja telah habis (tinggal versi ilegal di shopping centre :P), dan berhasil mendapatkannya di Gramedia Pusat Solo.
Saya tidak menyesal membaca buku tebal-tebal ini, terutama karena setting waktunya adalah zaman dulu, transisi abad 18 ke abad 19. Menakjubkan membayangkan masyarakat Jawa saat itu masih banyak yang belum bisa baca tulis dan masih merasa takjub melihat sepeda untuk pertama kalinya (termasuk Minke). Saya suka keadaan pada zaman itu, saat teknologi belum membuat orang menjadi individualis. Bagian yang paling saya sukai adalah kisah Surati, anak Sastro Kassier, yang diminta menjadi gundik Administratur pabrik gula Tulangan, Vlekkenbaaij atau Plikemboh. Sangat terasa suasana pedesaan Jawa pada zaman kolonial.
Tokoh yang saya sukai adalah Nyai Ontosoroh karena dia adalah tipe wanita perkasa seperti ibu saya. :D Dengan sangat piawai dia membangun kerajaan bisnisnya dan dengan sangat berani pula mengusir Tuan Herman Mellema ketika datang dan memaki-maki kepribumian Minke. Selain Nyai Ontosoroh, saya juga menyukai karakter Prinses van Kasiruta yang gagah berani melindungi Minke menghadapi gerombolan Robert Suurhof. Mereka berdua adalah contoh dua wanita perkasa. Dan satu lagi yang saya sukai meskipun karena kekurangajarannya adalah tokoh Sarimin, yang memeras Pangemanann dengan sangat liciknya.
Kebosanan? Ya, jelas ada bagian yang membosankan, yaitu saat buku mulai menceritakan keadaan negara, tentang politik, dan kutipan surat yang panjang-panjang. Bagian-bagian itu membuat cerita berhenti di tempat, menjadi pasif, menjadi berputar-putar. Membuat ceritanya menjadi tidak mengalir. Kadar kebosanan yang terdapat dalam buku ini meningkat dari buku pertama hingga keempat. Rumah Kaca terlalu membosankan bagi saya karena banyak pembicaraan tentang Hindia.
Sedangkan itu, tokoh yang tidak saya sukai adalah Annelies Mellema. Bagaimanapun alasan gadis itu menjadi manja, entah karena tidak pernah bergaul atau karena masa kecilnya kurang bahagia, saya tidak mentolerir. Saya tetap tidak suka pada Annelies. Lihat saja pada buku pertama ketika dia memaksa Minke mendongenginya sebelum tidur. Dan kecantikannya yang digambarkan seperti bidadari itu, uh, membuat Minke bertekuk lutut. Itu bukan percintaan yang tulus menurutku, karena hanya menyukai penampilan saja. Annelies sama sekali tidak dewasa. Dan sifat kekanak-kanakannya itu yang menyebalkan. Coba saja bandingkan dengan Prinses van Kasiruta yang bisa menembak gerombolan Robert Suurhof. Saya senang Annelies mati.
Lagi-lagi curhat. =_=
Over all, saya menyukai tetralogi ini, karena kadang-kadang alur ceritanya melompat dan menampilkan suatu kejadian yang mengejutkan.

0 comments:

Posting Komentar