Saat mendapat tugas menulis kreatif untuk membahas buku yang berpengaruh terhadap saya, saya langsung ingat blogpost ini. Saya anggap post kali ini adalah versi yang lebih lengkap dari post tersebut.
Data buku
Judul : A Modern Classic Botchan
Penulis : Natsume Soseki
Penerjemah : Indah Santi Pratidina
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 224 halaman
Botchan adalah novel karya
Natsume Soseki pada tahun 1906. Novel yang judulnya berarti “tuan muda” ini
menceritakan seorang pria yang tidak mau diikat oleh aturan sosial di
sekitarnya. Pria ini tidak pernah disebutkan namanya melainkan hanya dengan
sebutan botchan oleh pengasuhnya yang sudah tua, Kiyo. Di sampul depan novel
ini tertulis A Modern Classic dan disebutkan pula bahwa mungkin
inilah novel klasik yang paling banyak dibaca di Jepang modern mengingat
posisinya yang penting dalam sastra Jepang.
Sejak kecil, Botchan sudah
menjadi anak yang pemberontak dan kurang diinginkan oleh orangtuanya. Soseki
menulisnya sebagai “kecerobohan alami” karena Botchan tidak mau kalah dari
orang lain (atau mungkin karena ingin pamer). Di antara kenakalannya semasa kecil
adalah melompat dari lantai 2 gedung sekolah, mengupas kulit ibu jarinya dengan
pisau, dan menyumbat irigasi sawah milik orang (karena tidak tahu apa fungsi
irigasi itu). Orangtuanya lebih menyayangi kakaknya yang dianggap Botchan ngondek. Bukan masalah bagi Botchan ketika
ayahnya memutuskan hubungan kekeluargaan dengannya. Kiyo, pengasuhnya yang
sudah tua, merasa kasihan dan tetap merawatnya dengan sepenuh hati. Namun
pikiran polos Botchan menganggap kebaikan hati Kiyo itu harus dibalasnya suatu
hari kelak, meskipun Kiyo tidak setuju. Pria ini menyebutkan bahwa konyol jika
Kiyo masih menyebutnya dengan sebutan “Botchan”, namun hanya wanita itulah yang
tetap baik hati kepadanya hingga akhir hayatnya.
Botchan kemudian
melanjutkan sekolah dengan kemampuan yang tidak istimewa dan menjadi guru
matematika di sekolah menengah di pedesaan yang jauh di luar Tokyo. Botchan
menyebutkan, “Di peta, tempat tujuanku tampak tidak lebih besar daripada titik
jarum di lautan.” Perjalanan hidupnya dalam mengajar di sekolah sangatlah
berat, dari pemilik penginapan yang menyebalkan, kepala sekolah yang licik,
guru-guru yang bersekongkol untuk menjatuhkannya, dan murid-murid yang luar
biasa nakal. Salah satu guru, Hotta, sempat diadudomba dengannya oleh guru-guru
yang bersekongkol, namun bisa rukun kembali. Kenakalan murid-murid sempat
menyeret Botchan dan Hotta dalam kerusuhan di suatu upacara dan kerusuhan di
malam festival. Upacara itu adalah perayaan kemenangan Jepang atas Cina dan
seluruh kota dihiasi bendera matahari terbit. Malamnya diadakan festival dengan
para penari dengan tarian perang yang istimewa. Ketika itulah kerusuhan terjadi
antara murid sekolah menengah tempat Botchan mengajar dan murid sekolah
kejuruan. Ternyata kerusuhan itu adalah persekongkolan yang direncanakan oleh
salah satu staf guru yang dijuluki Kemeja Merah (Akashaku). Botchan dan Hotta
pun merencanakan balas dendam kepada Akashaku dan si Badut, guru kesenian
tangan kanan Akashaku. Pada suatu malam mereka menghajar Akashaku dan Badut,
lalu mengundurkan diri dari jabatan pengajar dan pergi dari tempat terpencil tersebut. Botchan
yang pulang ke Tokyo disambut gembira oleh Kiyo, walaupun di akhir novel hidup
Kiyo hanya tinggal sebentar.
Hal yang berkesan bagi
saya dalam novel ini adalah keberanian Botchan menentang ikatan sosial yang
ketat dan keberaniannya menyuarakan kebenaran. Buku ini tidak ditulis untuk
menggurui dan tidak terkesan “kuno”. Seperti yang ditulis oleh penerjemahnya ke
dalam bahasa Inggris, Alan Turner, novel ini dapat membawa suasana nostalgia
tentang Jepang di awal abad 20.
Pada saat itu belum ada teknologi secanggih sekarang yang lebih sering membuat orang menjadi individualis. Orang pada saat itu bisa saja pergi berbeda arah dan tidak perlu bertemu lagi untuk selamanya, seperti Botchan dan kakaknya yang menyebalkan. Mereka tidak perlu khawatir harus melihat orang yang dibenci di facebook atau twitter. Botchan selalu percaya diri terhadap kemampuannya (kecuali dalam berpidato) dan pola pikirnya selalu ingin mengoreksi kekacauan di sekitarnya.
Pada saat itu belum ada teknologi secanggih sekarang yang lebih sering membuat orang menjadi individualis. Orang pada saat itu bisa saja pergi berbeda arah dan tidak perlu bertemu lagi untuk selamanya, seperti Botchan dan kakaknya yang menyebalkan. Mereka tidak perlu khawatir harus melihat orang yang dibenci di facebook atau twitter. Botchan selalu percaya diri terhadap kemampuannya (kecuali dalam berpidato) dan pola pikirnya selalu ingin mengoreksi kekacauan di sekitarnya.
Hal lain yang berkesan
adalah begitu hormatnya orang Jepang terhadap kesenian. Tidak hanya dulu,
hingga sekarang kesenian klasik Jepang pun sangat dihargai.
Terlepas dari jalan
ceritanya yang terkesan lempeng dan biasa-biasa saja, dari buku ini saya
menyadari bahwa kenakalan remaja (murid sekolah khususnya) tidak hanya terjadi
saat ini. Kalau video games divonis sebagai penyebab utama kenakalan remaja,
maka pola pikir itu harus diubah sekarang juga. Kenakalan remaja telah terjadi
sejak puluhan tahun yang lalu.
Over all, I really like
this book. Natsume Soseki telah mengubah cara pikir
saya untuk tidak membiarkan kebusukan yang mengatasnamakan tata krama di
sekitar saya terus berlangsung. Bahkan tidak bisa kita mempercayai setiap orang
yang kita rasa telah kita kenal. Seperti belajar sejarah, buku ini mengajak
saya melihat kenyataan, bukan hanya yang terlihat dari permukaan atau dilakukan
secara turun menurun. Kita semua memiliki potensi untuk memperbaiki sistem
sosial di sekitar kita.
0 comments:
Posting Komentar