Sajadah, untuk berbagi atau egoisme?

Bulan ramadan sudah berjalan 14 hari.  Mendadak masjid-masjid penuh orang beribadah. Alhamdulillah. Sholat subuh, magrib, isya,  dan tarawih berjamaah. Bersamaan dengan itu, mayoritas perempuan di dusun tempatku tinggal membawa Sajadah untuk sholat. Satu-satunya fungsi yang aku tahu dari Sajadah adalah sebagai penanda teritorial seseorang beribadah agar tempat sujudnya tidak sembarangan dilewati (ingat larangan agar tidak berjalan di depan orang sholat! Dan anak-anak kecil yang berlarian di masjid tentunya). Oh iya,  juga untuk mencegah kita sholat di tempat yang kotor. Tapi fenomena yang aku lihat sejak ramadan tahun lalu berkaitan dengan sajadah ini agak mengganggu. Kenapa?  Karena para jamaah (terutama perempuan) ini malah menjadi 'individualis'.
Loh,  kok bisa?  Jangan sembarangan ngomong!
Coba kita lihat yang terjadi di musholla tempatku beribadah. Jamaah laki-laki di sini hampir tidak menggunakan sajadah. Selain karena karpetnya sudah seperti sajadah, sajadah hanya digelar di shaf belakang imam. Shaf pun rapat dan tertib. Nah sedangkan itu, jamaah perempuan rajin sekali membawa sajadah. Hampir setiap orang membawa sajadah,  bahkan anak kecil pun memakai sajadah sendiri. Yang salah di sini adalah pemakaian sajadah tersebut.  Kita ingat dong bahwa saat sholat berjamaah shaf harus dirapatkan? Di shaf jamaah perempuan hal itu sepertinya tidak berlaku. Karena sajadah yang dipakai individu ukurannya besar-besar, otomatis ada jarak antara satu jamaah dengan jamaah lain.  Shaf menjadi tidak rapat. Yang aku herankan, apa mereka tidak memikirkan hal itu?  Bukankah dalam Islam disebutkan bahwa shaf yang tidak rapat akan diisi oleh setan?

Aku sendiri menggunakan sajadah lebih karena barang itu ada banyak sekali di rumah dan sayang bila tidak dipakai. Aku tidak masalah bila tidak membawa sajadah,  aku bahkan lebih suka bila ada yang mau berbagi sajadah denganku karena kami bisa sholat berdampingan dengan rapat. Aku bukan mau sok suci tapi fenomena sajadah yang merenggangkan shaf itu harusnya diakhiri. Baguslah kalau sajadah yang besar-besar itu bisa dipakai untuk beberapa orang. Ah, malah jadi ngrasani orang di bulan puasa...  Habis gemas sekali sih melihat salah kaprah ini!

maaf fotonya kurang jelas. tapi inilah.

Category: 0 comments

Sahabat Pena

Menurutku, teknologi membuat kita menjadi orang yang individualis.
Aku teringat ketika SD dulu aku pernah mempunyai sahabat pena. Ada yang ingat dengan istilah tersebut? :D Sahabat pena adalah teman-teman yang kita hubungi melalui surat-menyurat, atau bahasa gaulnya pen-pals. Aku kangen dengan sahabat-sahabat penaku. Ketika itu, ketika handphone dan social media belum aku kenal, berkirim surat rasanya asyik sekali. Beberapa bulan yang lalu aku iseng-iseng mencari sahabat penaku di facebook, kemudian aku add dengan message bahwa aku adalah sahabat penanya dulu, namun dia belum menerima permintaanku menjadi teman. Mungkin karena aku menggunakan nama samaran atau memang dia orangnya selektif dalam menerima permintaan menjadi teman, seperti aku. :p
Kegiatan surat-menyurat itu dimulai ketika suatu hari ada surat yang datang ke rumahku. Saat itu aku masih duduk di bangku SD, tapi jujur saja aku lupa kelas berapa saat itu (dari cap perangko yang aku lihat di surat-surat tadi sepertinya surat pertama datang tahun 2003, berarti sekitar aku kelas 3-4). Mereka bilang mereka mendapatkan alamatku dari majalah Bobo. Ingat dong surat-surat pembaca yang dimuat di Bobo, yang antara lain mengkritisi isi Bobo? Nah, aku adalah salah satu kritikus melalui surat. :P Aku tidak bisa membiarkan plagiatisme merajalela di majalah anak-anak terbaik di Indonesia ini, makanya aku mengirim surat yang memberitahu redaksi Bobo bahwa ada puisi yang dimuat di Bobo hasil plagiat dari buku paket kelas 1 SD. Aku ingat sekali nama orang yang memplagiatnya. Aku juga ingat sekali suratku saat itu kutulis di atas kertas kecil dengan tinta biru. Nekat saja, kukirim surat itu ke Jalan Palmerah Selatan no.22 Jakarta 10270.







Waktu SD, setiap minggu aku rajin membeli majalah Bobo. Hanya kadang-kadang saja terlewat satu edisi. Mungkin di salah satu edisi yang aku lewatkan itulah suratku dimuat. Aku sendiri tidak pernah membaca surat kritikanku di majalah Bobo. Aku pernah mencarinya di Bobo milik tetanggaku yang berlangganan majalah tersebut tapi nggak ketemu juga. Ya sudahlah, itu tidak masalah, yang penting bisa menambah banyak teman. Aku juga mengirim surat kepada pembaca tabloid Fantasi yang bernama Anggra untuk bertukar poster map atau pin up, namun sayangnya dia tidak membalas suratku lagi.
Sahabat penaku yang terasa paling akrab dan suratnya lumayan banyak adalah Dian Ayu Hapsari, Hemashita Nugraheni, dan Nicole Melisa Natasha Mumek. Yang terakhir ini sebenarnya sahabat pena temanku, Rini Anitasari (yang ketularan mencari sahabat pena gara-gara aku). Dari biodata yang dikirim ke Rini aku lihat Melisa ini jepang-jepangan banget. Aku jadi heboh dan ikutan mengirim surat kepada Melisa. Dia orangnya talkative dan dengan bebas cerita-cerita soal cowok pada umur kami yang saat itu mungkin baru 12 tahun. Hahaha… Tulisan Melisa bagus banget, dia juga sering menggambar karakter manga di suratnya. Kertas suratnya saja gambar anime. Ah, pokoknya dia benar-benar otaku. Dialah yang berhasil aku temukan FBnya namun tidak pernah menerimaku menjadi teman.


Aku kangen Melisa. Aku kangen berkirim surat dengan orang-orang yang ingin menjadi temanku. Aku kangen menunggu surat balasan datang.
Category: 5 comments